21 Mei 2010






Hampir setahun saya berada di Makassar.
Dan hampir setahun saya menempuh pendidikan di fakultas kedokteran.

Sistem pendidikan di fk dibuat per sistem blok, yang membuat kita belajar satu keseluruhan dan berpindah ke sistem lain. Sistem sekarang canggih. Kita tidak perlu susah-susah baca buku banyak seperti fakultas kedokteran zaman jebot, yang perlu belajar anatomi bertahun-tahun. Yang perlu waktu lama untuk menjadi sarjana kedokteran. Yang tidak perlu mengulang keseluruhan jika kita hanya mengulang satu mata kuliah. [ngorek-ngorek perkuliahan zaman nyak dulu] Zaman sekarang, pendidikan kedokteran telah dipress sesingkat mungkin. Lima tahun! Bayangkan saya yang baru masuk jadi mahasiswa kedokteran 2009 akan lulus menjadi dokter di tahun 2014 [semoga. Amin].

Senangkah jadi dokter dengan cepat? Tentu saja senang.

Akan tetapi, sudah tepat/efektifkah pendidikan kedokteran yang dipaket selama lima tahun itu?
Nah, itu perlu ditinjau kembali.

Flash back ke kehidupan saya. Selama ini, saya nyaris tidak lepas dari pendidikan formal. Dua tahun saya habiskan di TK, enam tahun di SD, tiga tahun di SMP, tiga tahun di SMA, satu tahun belajar di fakultas lain, dan sekarang di fakultas kedokteran. Kalau di total sampai lulus, 20 tahun saya menghabiskan waktu hidup saya untuk pendidikan formal.

Dulu di TK saya, tahun 1993, kita sudah belajar bahasa Inggris. Dan zaman sekarang? Di kota saya, bapak-ibu metropolitan berlomba-lomba menyekolahkan anaknya di sekolah terbaik dan termahal demi masa depan anaknya. Dan betapa bangganya bapak-ibu sekarang melihat anaknya yang masih TK sudah bisa berbahasa Inggris selancar anak-anak bule. Lain lagi dengan SD saya. Ketika tahun 1996, saya disekolahkan di sekolah Islam swasta terkenal. Sama seperti tekad bapak-ibu metropolitan sekarang, bapak-ibu saya menyekolahkan saya di tempat berkualitas, meski ibu saya sering tercekek dengan uang sekolah tiga bulan yang hampir sejuta, ibu saya tetap menanamkan prinsip pendidikan itu tetap nomor satu. Money is no problem for school and food. Saya disekolahkan disitu dengan harapan punya ahlak yang baik dan tentu saja kemampuan akademik yang baik. Oiya, SD saya termasuk canggih loh. Ketika anak-anak seumuran saya masih sekolah dengan kurikulum biasa, kami yang kelas 4 SD, sudah bisa menguasai program komputer DOS, visual basic, dan Microsoft office.

Saat SMP, tahun 2002, saya lulus. Saya sempat menghabiskan satu tahun di SMP swasta di yayasan yang sama. Dan karena ada problem, saya berpindah ke SMP Negeri di Jakarta. Pertama kalinya saya ternganga Bagaimana tidak? Swasta dan negeri begitu berbeda. School fee per bulan saya saja yang nyaris setengah juta terdiskon menjadi tujuh puluh lima ribu rupiah. Bayangkan juga fasilitasnya. No janitor, bangkunya kayu. Bagi orang yang terbiasa dengan fasilitas sekolah yang mewah, saya shock. Dan disinilah, saya mulai sadar, Ternyata selama ini saya hanya mendongakkan kepala saya ke atas. Saya seperti katak yang baru keluar dari tempurungnya. Ternyata teman saya sekarang banyak yang kurang mampu, sedangkan saya dengan sekolah yang dulu sering sekali bermol-mol ria. OK, Welcome to the real life! Mulailah saya belajar menghargai, bergaul tanpa membeda-bedakan disini. Oiya, disinilah saya naik angkot pertama kali[norak!].

Dan ketika SMA, tahun 2005, saya masuk SMA pilihan kedua. Saya tidak mendapat SMA pilihan pertama. Meskipun begitu, ibu saya sangat bangga saya masuk sekolah ini karena katanya ini SMA favorit. Akan tetapi, ternyata saya masuk ke sekolah yang benar-benar mengejar akademik. Sekolah ini ibarat pincang, mengejar peringkat, tapi sebenarnya dalam lumpuh. Ekskul saja nyaris-nyaris bubar kalau bukan kitanya yang kekeuh. Kehidupan SMA kurang begitu nikmati saya jalani. Oiya, saya ingat sekali, saya punya seorang teman, yang mungkin tidak terlalu dianggap pintar oleh guru-guru sekolah saya, panggil saja X. Ketika dia masuk IPA, si X curhat pada saya kalau dia tidak sengaja mendengar obrolan guru-guru yang membicarakan dirinya. “Kok dia bisa masuk IPA ya?” beberapa guru saya menganggap dia kurang pintar. Dan ketika kelas 3 SMA, dia duduk sebangku dengan saya. Tahukah? Ketika pelajaran yang berbau seni, dia begitu smart. Dari pelajaran menggambar, bahasa, seni music, dia jagonya. Dan di akhir SMA, dia termasuk orang pertama yang lulus di kelas kami, XII IPA 1. Dia lulus FKG UGM. Tidak hanya itu, dia juga lulus di FSRD ITB. So Great, right? Ketika guru-guru menanyakan siapa saja yang sudah keterima, dengan lantang saya menjawab, “Si X dong bu! Dia keterima di UGM dan ITB loh..” Si guru kaget, “Kok bisa ya si X itu masuk?” saya dengan pedenya ngomong, “Dia itu pinter banget loh gambar bu.” Rasanya saya sangat puas mengatakannya, itu adalah pembuktian dari teman saya, si X, yang seharusnya tidak dipandang sebelah mata

Dan saat saya kuliah disini, saya hampir capek dengan sistem blok yang seperti ini. Ketika berpindah, pelajaran yang sebelumnya lupa. Tidak ada yang nyangkut, pelajaran hanya lewat. Bagaimana mau nyangkut? Karena kita selalu diajarkan untuk menghafal, bukan memahami. Mengejar skor untuk lulus. Lebih takut untuk tidak lulus, walaupun itu sikap yang wajar. Kerjaan saya di perkuliahan : mengopi teori dan hafal mati supaya bisa lulus ujian sistem. Itulah yang terjadi pada saya sekarang. Saya kayak jadi calon dokter yang dikejar sistem. Mau enggak mau, harus nelen mentah-mentah meski enggak tahu persis apa ilmu yang dikunyah. Dan ternyata saya baru sadari, hal ini bukan hal yang baru bagi saya. Ini sudah saya alami sejak dulu,

Percayakah?


Dari dulu sampai sekarang sistem membawa kita untuk takut dengan tinta merah di rapot. Sistem membawa kita untuk terakui hanya lewat angka. Sistem membawa kita sehingga kita tidak dapat berkembang sesuai dengan kemampuan yang ada! Lihat, nyatanya teman saya mungkin hanya bisa diakui dengan angkanya yang bagus di rapot. Guru-guru tidak akan ngeh dengan abilitynya diluar akademik. Sistem di sekolah hanya mengakui jika nilai matematikamu bagus, fisikamu lumayan, biologimu lulus. Oh Sorry, disini mereka tidak menerima nilai yang jelek-jelek.

Lantas apa solusinya? Bagaimana merubahnya?

Ubah sistem!

Pendidikan kita tidak membentuk pribadi yang berkarakter, hanya mengejar kompetensi supaya sesuai dengan standar negara lain. Saya pernah baca di suatu situs, kalau dibandingkan dengan sistem pendidikan Negara-negara lain di Asia Tenggara, kita punya belasan mata pelajaran yang harus dikuasai. Dibandingkan dengan Malaysia yang sistemnya hanya 7-8 pelajaran, Laos, dan Singapura. Bayangkan siswa-siswa SMA di Indonesia sekarang harus ‘memakan’ hampir 15 jenis pelajaran sebagai standar keberhasilan mereka di SMA. Belum lagi sekarang dengan sistem yang berubah-ubah, KBK, KTSP, dan sekarang mungkin ganti nama lagi, Kurikulum membuat kita sebagai ‘peserta pendidikan’ bingung dan kita diminta untuk terus berevolusi sesuai dengan kurikulum yang ada, tanpa memperhitungkan apa yang menjadi efek bagi siswa/mahasiswanya.

Kadang saya berpikir, wajarlah kalau sistem diperbaharui sesuai dengan zaman yang ada karena begitu cepatnya zaman globalisasi sekarang meminta SDM yang lebih berkualitas. Siswa/mahasiswa sekarang berlomba-lomba dipersiapkan oleh institusi pendidikan untuk menjadi SDM kualitas terbaik Akan tetapi, masalahnya, kata kualitas yang membuat kehidupan peserta pendidikan ini terbelenggu. Kualitas diartikan ‘cetek’ sebagai nilai-nilai dari kemampuan akademik yang terpajang di ijazah. KAKU. Sistem hanya sekadar menghasilkan sumber daya impian mereka alias robot tanpa pengembangan potensi dari diri masing-masing SDM itu.

Tak hanya itu, paradigma sistem pendidikan harusnya diubah. Pemahaman bukan penghafalan karena pemahaman akan memacu kita untuk aktif berpikir dan tidak buntu. Bikin siswa memahami suatu esensi, bukan hanya menggembleng mereka teori. Jangan jadikan mereka sosok yang begitu ‘kaku’ di kehidupan yang sebenarnya. Dan pesan bagi guru-guru SMAku yang tercinta, jangan lupa selalu berpedoman bahwa setiap manusia itu mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Maka belajarlah melihat mereka dari berbagai sisi. Tidak semuanya bisa dilihat dari sistem akademik yang ada.

Jadi itulah sekilas keluhan saya tentang pendidikan. Anda tahu, kenapa saya menulis ini? Karena sampai sekarang, saya merasa jadi korban. Korban sistem!
 

Copyright 2010 a piece of mind.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.