Sudah kurang lebih 4 bulan lebih lamanya, kita dihadapkan pada masa pandemik Covid19 ini.
Kehidupanku sekarang jauh lebih melelahkan. Ketika yang biasanya kita modal cuma pakai baju jaga dan stetoskop. Kalau lanjut jaga dua shift pun nggak usah mandi sama sekali nggak papa, kini kebiasaan itu telah berubah. Siapa sangka Covid19 ini bisa datang merubah rutinitas kegiatan Rumah Sakit dan wajah kehidupan masyarakat kita?
Kebiasaanku saat datang untuk jaga IGD telah berubah. Pertama saya taruh tas dikamar jaga. Lalu, bergegas ambil baju jaga dan hazmat yang sudah disiapkan di ruangan diskusi. Lalu minta nurse cap dan masker bedah ke bagian farmasi. Proses dari mengambil baju sampai memakainya membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit. Alat pelindung diri yang dipakai di IGD RSku selama ini, adalah APD level 2. Oiya, ruangan jagaku dibagi menjadi dua; Ruangan IGD Infeksi dan IGD Non Infeksi. IGD infeksi dikhususkan untuk pasien Suspek Covid 19. Sedangkan ruangan IGD non infeksi yang terdiri dari triase IGD, zona merah, zona kuning, zona hijau, dan ruang isolasi (ruangan tersendiri). Bila pasien hasil swab PCRnya positif akan ditempatkan di ruang isolasi.
Banyak yang nanyain, apa rasanya pakai APD? Baju perang ini nggak nyaman banget. Gerah dan panas! Ketika terima pasien, kamu nggak tahu rasanya ngomong ke pasien harus lebih kencang karena pakai double masker (masker N95 dan masker bedah). Nafasmu jadi sesak dan pendek sehingga kamu sulit untuk berbicara banyak. Ada kalanya sesak ini berubah wujud namanya jadi EMOSI. Apalagi ketemu pasien yang nggak bisa lengkap anamnesisnya karena kurang mengerti riwayat atau bahkan berbohong (tentang riwayat dirawat sebelumnya/riwayat covid19), eh ternyata ada si virus Covid diam-diam sembunyi didalam badannya.
ZONKLAH KEHIDUPAN!
Saya pernah dapet pasien covid19 kiriman bapak pejabat (karena si pasien warga sosialita dan tetangganya si pejabat). Keluhannya nggak ada sama sekali demam, bapil, atau sesak nafas. Pemeriksaan fisik bagus semua. Dari hasil laboratorium nggak khas covid19 dan rapid testnya non reaktif. Gambaran CT Thoraksnya GGO (Ground Glass Oppacity-gambaran CT khas covid19). Eh hasil swab PCRnya positif. Pasien-pasien dengan OTG begini sangat sulit untuk dideteksi. Bayangkan kalau pasien itu gapunya CT sama sekali. Kagak ketebak. Mungkin cuma dianggap karena banyak pikiran.
Tidak hanya Rumah Sakit, jaga diklinik juga jauh lebih riskan sih menurutku. Orang datang dengan keluhan bapilnas kita terima dalam satu ruangan tertutup ber-AC, justru lebih potensial beresiko dalam penularan infeksi. Makanya sekarang saya minimalisir untuk jaga diklinik. Tapi kadang kalau nggak dijalanin, kita butuh duit juga. Dilema. Mau nggak mau, ketakutan itu harus disingkirkan demi kebutuhan.
Kalau ditanya-tanya risiko pekerjaan, saya rasa untuk setiap profesi sama saja. Taruhan kami nyawa. Taruhan orang non medis adalah kebutuhan, yang paling dasar adalah kebutuhan primer seperti makan. Mati perlahan karena lapar dan mati mendadak karena covid sama saja mati kan?
Tidak ada yang lebih baik di masa-masa ini, kita harus bahu-membahu membantu supaya kita nggak sama- sama mati. Anda membantu saya dengan menjaga kesehatan. Yang lain juga membantu kebutuhan satu sama lain. Saya melakukannya dari hal-hal yang kecil sesuai kemampuan saya. Membantu usaha orang dengan membeli dagangan mereka, bagi-bagi nasi bungkus ke orang tidak mampu, dan bersedekah ke saudara/teman yang membutuhkan
Saya sebenarnya setuju-tidak setuju dengan kebijakan PSBB. Disatu sisi, atasan-atasan dan tenaga medis mau masyarakat untuk tetap dirumah aja. Disisi lain, banyak masyarakat menengah yang kebawah aja masih mikir buat besok makan apa. Awalnya semua membantu sama lain. Tenaga medis dibantu dengan supply APD dan penunjang lainnya. Masyarakat yang tidak mampu dikasih sembako dan bansos lainnya. Tapi sampai kapan? Semua orang lama-lama akan menjadi kesusahan seiring berjalannya waktu. Kita akan mengurus diri kita masing-masing karena bakal keteteran sendiri. Padahal, opsi yang digadang-gadang diawal, yaitu lockdown, sudah diterapkan beberapa negara dan akhirnya berhasil. Vietnam, Taiwan, New Zealand merupakan negara yang berhasil menekan angka covid19 bahkan sampai 0 case. Wow!
Saya berandai-andai, apakah nasib kita akan berbeda jika kita memilih lockdown diawal?
Nyatanya, PSBB juga nggak ngefek-ngefek banget. Opsi yang lebih dipilih ini karena alasan economic loss sebenarnya tidak lebih baik. Sama aja kempes ekonominya karena harus menderita berlarut-larut karena akibat PSBB jilid 123. Pemerintah hanya menghimbau, tidak melarang. Belum lagi kalau keputusan Pak Presiden sama Menterinya berlawanan, ngakak banget dah ini. Diperparah lagi dengan keadaan masyarakat yang susah sekali diatur. Sebuah kombinasi yang ciamik dan naujubilahmindzalik. Pak Menkes juga nggak pernah kelihatan batang hidungnya sama sekali. Saya bingung beliau kemana, kena Covidkah? Belum lagi, Pak Menhub membuat keputusan yang cukup fatal (melonggarkan PSBB) setelah beliau sendiri merasakan Covid19. Bahkan merasakan rasanya bernafas pakai ventilator lho. Ironiskan ya?
PSBB yang berjilid-jilid ini akhirnya dirubah perlahan menjadi kondisi New Normal. Indonesia itu belum bisa normal woy! New Normal baru bisa dijalankan kalau penyebaran bisa dikendalikan, fasilitas disekitar kita mendukung protokol untuk menekan penyebaran, masyarakat yang sadar dengan kewaspadaan yang tinggi dalam menjaga kesehatan dirinya. Belum terpenuhi sama sekali kan?
Sekarang juga lagi marak pendapat-pendapat negatif terhadap tenaga medis. Dari kita yang disebut nggak tahu diri karena terlalu banyak ngeluh, disebut konspirasilah, bahkan dituduh mengambil profit di zaman covid ini.
Helloww, RS pemerintah aja dari dulu BPJS dan Jamkesdanya tersendat, bahkan pernah lama nggak dibayar lima bulan lho. Tapi tetap aja sabar ngelayanin pasien, kerja dan bertahan hidup dengan modal gapok yang minim. Tunjangan yang dijanjikan pemerintah untuk tenaga medis yang menangani covid19 juga belum keluar. Lebih aneh lagi RSku, tidak ngurus sama sekali insentif covidnya. Dont know why.
Rumah Sakit sekarang jauh lebih susah beroperasi, karena no money woi. Apalagi RS swasta yang punya pendanaan sendiri, cepirit banget hidupnya. Harus tetap menafkahi tenaga medis saat pasiennya lagi nggak banyak. Jadi, ada salahnya nggak sih RS swasta membebankan biaya APD dan pemeriksaan covid19 (masih dengan harga yang rasional) kepada pengguna jasa pelayanan (pasien)? Yang harusnya dalam keadaan wabah, menjadi tanggung jawab negara. Rumah sakit juga harus survive. Kalau tidak, siapa lagi yang bisa melayani pasien?Lagipula melakukan hal itu semua kan demi keselamatan pasien dan proteksi bagi diri kami.
Gejala Covid itu random kawan!
Kewaspadaan tinggi itu perlu!
Meski tidak bisa dipungkiri, dalam satu profesi, pasti ada oknum-oknum yang mencari profit dengan cara yang tidak baik di masa-masa ini, tapi jangan sampai kita mengeneralisasi. Judge orangnya, bukan profesinya. Karena masih banyak orang-orang baik diluar sana yang masih berjuang mempertahankan idealismenya, menjalankan profesinya sesuai tupoksi, dan berusaha maksimal demi kesehatan pasien. Hargai mereka.
Kalau tanya kenapa test tidak digratiskan untuk semua masyarakat Indonesia? Kalau di RS pemerintah, saya maunya sih dicek semua. tapi kan barangnya terbatas. Jadi yang diperiksa memang yang terindikasi Covid19. You should ask the stakeholder, not us. Kita hanya penyedia layanan kesehatan.
Adalagi nih yang nggak kalah marak, pasien suspek covid 19 dibawa beserta brankarnya dari RS oleh satu kampung/komunitas, mereka menolak protap pemulasaraan jenazah Covid19. Eh keluar-keluar hasilnya positif. Selamat, satu kompi bikin klaster baru! Masyarakat kayak gini harus ditegasin dengan aturan, bukan dengan aturan pemerintah yang menye-menye. Pukul aja kepalanya, penjarakan! Situasi seperti ini membuat kita sebagai ujung tombak penanganan terancam. Awas aja kalau kami terluka gara-gara ngotot adu pendapat sama personal/ormas karena hal ini.
Pasien DOA (death on arrival) yang datang ke RSku pun sekarang dilakukan protap pemulasaraan jenazah covid19. Tidak pandang bulu kecuali mengarah ke penyakit lain (Penanganan kasus DOA tergantung kebijakan masing-masing RS). Memang banyak orang nggak terima, saya mengerti, tapi mau diapa. Karena belum ada kebijakan pasti untuk melakukan PCR/rapid test pada pasien yang sudah meninggal dan untuk menunggu hasil tes itu cukup lama sedangkan jenazah kan harus cepat-cepat dikuburkan. Kita memberlakukan semua ini supaya tidak terjadi penularan.
Bicara virus ini, boleh Anda menduga ada konspirasi WHO, Negara Cina Tiongkok, blablabla, tapi jangan ragukan niat kami nakes untuk menolong. Salah sasaran woy kalau kamu tuduh kita konspiratornya.
Kami-kami ini cuma ujung tombak yang kadang juga jadi korban dari kebijakan.
Udah riskan melayang nyawa, eh malah difitnah. Sedih.
Semua orang capek. Ya wajarlah. Semua dirugikan dengan covid19, nggak cuma kamu-kamu aja, kami juga. Saya pribadi juga mau gila, psikis saya jadi kurang sehat karena harus berkutat dengan jam jaga yang padat, APD yang super pengap, dan tidak bisa melakukan hobi saya. Hobi saya jalan-jalan. Kalau habis jaga beruntun, saya pasti main-main ke Jakarta/keluar kota, mencoba hal-hal baru, naik gunung atau ke pantai sesekali. Dengan hal itu, saya jadi kembali menemukan faedahnya hidup, faedahnya bekerja bagai kuda.
Tapi disaat-saat ini, janganlah kita egois. Lakukan hal yang membuat orang lain juga aman dengan melakukan proteksi diri, sebisa mungkin dirumah, dan tidak bersikap takabur.
Keluar boleh, tapi tetap waspada. Don’t be stupid!
Nyawa kamu cuma satu, bukan sembilan!
Oiya, sebagai seorang dokter, ada hal yang paling saya takutkan dalam pandemik ini. Ada dua.
Saya takut keluargaku tertular dan saya takut bakal jadi dokter pencabut nyawa.
Saya takut ketika saya jaga IGD, tanpa sadar saya memeriksa pasien yang ternyata Covid19. Sekali lagi, gejalanya itu very random kawan! Saya tertular dan bawa virus itu kerumah. Menginfeksi orang tua saya dan adik-adik saya. Takut sekali. Ada cerita yang saya dapat dari berita bahwa satu keluarga meninggal karena satu individu yang terinfeksi. Itulah pikiran yang kami rasakan sebagai nakes. Apakah kita akan menginfeksi anak-anak kita, orang tua kita, atau bahkan orang-orang lain yang kebetulan berpapasan dengan kita? Hal itu tidak bisa saya bayangkan. Kakak perawat pernah cerita dia bahkan sampai harus mandi tiga kali sebelum kerumah, merendam pakaiannya sendiri, dan tidak pernah menjenguk orang tuanya lagi semenjak covid ini. Ada juga pasangan perawat; yang satu jaga diruang infeksi covid, yang satu jaga di bagian lain. Si kakak cerita betapa dilemanya dia harus memosisikan diri sebagai istri yang mensupport suaminya supaya suaminya nggak down dengan kewaspadaan dia melindungi anaknya dari covid. Adalagi perawat yang tinggal terpisah dua bulan ini karena takut babynya terinfeksi. Ketakutan itu bukan hanya milikmu saja, tapi milik kami semua. That fear is so real!
Saya juga takut jadi dokter pencabut nyawa. Takut tiba-tiba harus dihadapkan dengan prioritas menyelamatkan hidup siapa karena pasien yang membludak dan keterbatasan fasilitas. Ruangan full semua dengan pasien covid19. Saya takut bila masa-masa di Itali dan Amerika terjadi, dimana sistem pelayanan medis ambruk total karena tak mampu menangani orang sakit lebih banyak lagi. Akhirnya pasien mati satu persatu, disusul kami yang mati karena kelelahan dan karena kena covid19.
Ya Allah, semoga itu tidak terjadi. Jangan sampai!
Yang kita sekarang lakukan adalah Ikhtiar dan bertawakkal; melakukan hal-hal yang saya anjurkan diatas. Meski pesimis dengan keadaan sekarang, mudah-mudahan semua cepatlah berlalu.
Tuhan tidak akan memberikan suatu cobaan diluar batas kemampuan kitakan?
Oiya tak lupa, semangat untuk semua Tenaga Kesehatan di Indonesia.
Yang bekerja, tetap semangat!
Yang terinfeksi, semoga cepat sembuh.
Yang gugur, hormat saya sebesar-besarnya. Saya angkat topi!
Kalian adalah pahlawan ditengah sistem yang 'ajaib' ini.
Semoga Allah membalas kebaikan kalian.
Kita doakan Covid19 sialan ini cepat-cepat ke Rahmatullah. Amin.
Kuat banget soalnya kumannya, jadi kita harus ''sembur'' dia pakai doa banyak-banyak!
Sekian unek-unek saya.
Salam Sehat,
Ghea Arifah, dr.
Tentang Nepal, Sebuah Impian yang Terwujud
-
Tahun 2017 lalu, saya menulis postingan ini, intinya saya mau ke Nepal dan
tahun 2019 itu terwujud.
Baca : Tentang Nepal
Bagi saya ini bukan hal biasa W...
4 tahun yang lalu