27 Mar 2014

Kadang lebih indah jika kita membiarkan ‘sesuatu itu’ apa adanya, tanpa perubahan. Walau terkesan konservatif, sesuatu itu akan terlihat lebih menawan, sakral, elok, dan bermanfaat dengan caranya sendiri.

   Itulah hal yang saya rasakan jika mengingat kata ‘tradisi’. Banyak tradisi jawa salah satunya, tradisi menikahnya. Ada mandi kembangnya, lempar-lempar kembang suami-istri, adegan suap-suapan, dan injek telur. Meski saya tidak terlalu tahu apa maksud dibalik adegan-adegan itu, dimata saya indah. Sisi ketradisionalannya membuat saya khidmat, elok, dan indah jika mengikutinya

   Lain lagi dengan konteks tradisi budaya yang saya dapatkan di Makassar. Sehabis membeli motor baru, saya diingatkan ibu penjaga kos untuk bikin onde-onde. Buat apa? Toh buang-buang waktu saja bikin. Usul punya usul harus selametan motor supaya gak celaka, supaya motor (dan tentu saja orangnya) dilidungi Allah. Saking excitednya, tetangga saya nyumbang beras ketan, ibu kos nyumbang gula merah, dan saya beli kelapa muda parut. Dan jadilah onde-onde ala kami! Lalu saya taruh onde-onde di atas motor lantas berdoa, lalu akhirnya keliling lantai satu sampai lantai tiga untuk bagi onde-onde. Saya tidak mengerti saat itu, saya hanya anggap fun-fun aja, mumpung lagi gak ngoass. Belakangan saya sadari kalau sebenarnya tradisi itu mempunyai banyak manfaat bagi saya. Saya berdoa untuk keselamatan saya sendiri dan saya jadi lebih akrab dengan tetangga di lantai 2 karena bagi onde-onde. Dibalik tradisi, kadang ada maksud ‘bermanfaat’ yang tersembunyi.

   Bicara tentang tradisi yang ada (atau kata ‘beberapa’ orang dianggap SEMUA TRADISI yang dianggap menyalahi ajaran Tuhan), Menurut saya, kalau kita lebih tela’ah, nenek moyang kita tak selamanya berlaku ‘animisme-dinamisme’, mereka hanya belajar dari suatu kejadian, memproses kejadian, dan karena memprosesnya sedikit salah, akhirnya kadang tradisi menjadi tidak masuk akal. (terlepas ada juga tradisi yang tercipta dari alasan yang masuk akal ya) Akan tetapi, jika mau menela’ah dan menghubung-hubungkan, kadang ada hikmah positif yang tidak kita bisa sadari langsung.

   Oiya, back to topic, bicara tentang ‘sesuatu itu’, tidak hanya terpaut konteks tradisi tapi hal itu juga dapat saya rasakan jika saya mengingat tempat tradisional seperti pasar malam. Saya suka ke pasar malam waktu saya kecil. Kebetulan ada lahan luas di dekat rumah kami di perumnas yang biasanya dipakai untuk acara itu. Bianglala, puter-puter, kuda-kudaan yang biasa diiringi musik dangdut yang cukup keras membuat saya rasa wow. Belum lagi kalau ada yang jualan kembang gula pink, siomay, atau telur-telur kecil yang disaosin membuat saya tambah larut dalam keramaian tempat itu. Agak sayang ya sekarang jarang banget acara pasar malam. Mungkin itu dikarenakan dominasi orang-orang lebih suka taman hiburan yang lebih modern menjadi salah satu penyebabnya. Saya bukannya anti-tempat modern lho. Saya juga tipe hedon, tapi ada waktu dimana saya menyukai hal-hal sederhana. Lebih merindukan pergi naik kuda-kudaan di pasar malam biar badan udah segede bagong, pergi duduk-duduk di hamparan sawah yang luas dibandingkan mejeng-mejeng di mall atau duduk minum-minum. 

   Seperti yang saya bilang tadi, meskipun ada hal yang perlahan atau mutlak berubah seiring berjalannya waktu, ada juga hal yang lebih indah jika kita tetap menjaganya seperti apa adanya. Ya, karena dia lebih menarik dan indah dengan keorisinalitasannya.  
 

Copyright 2010 a piece of mind.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.