8 Nov 2018

Berat bagi saya mengatakan ini. Saya selalu dikira bukan dokter. HIKS!

Orang selalu mengira tipe dokter wanita kebanyakan adalah anggun dan apik. Oh no no no, I'm not that kind of doctor. Saya bukan salah satunya.

Dulu, berpikir jadi dokter pun tak pernah. Punya bapak-ibu dokter, saya memang familiar dengan klinik, puskesmas, dinkes, dan rumah sakit. Dari kecil, saya rajin jajan di klontong depan puskesmas, suka lari-lari diklinik dan mainin lumpang obatnya klinik, biasa ikut bagi-bagi kondom ke bencong untuk program hiv. Akan tetapi, tidak terpikir sedikit pun saya bakal jadi dokter. Bagi saya itu profesi yang melelahkan. Liat kehidupan bapak-ibu saya aja udah lost interest.

Oiya, dari kecil memang saya agak tomboy. Apa mungkin karena bawaan orok orangtua berharap saya cewek? Dunno. But I'm so glad being woman. Karena pada dasarnya hatiku rapuh seperti remahan roti dan agar-agar. Hahaha.

Sepuluh tahun kemudian, saya tumbuh jadi bocah berambut kribo yang tidak bisa diam. Memang sudah terlihat keautisan saya sejak dulu. Saya suka main dan asik dengan diri sendiri. Dari zaman kelas 6, nilai sejarah saya selalu paling tinggi dikelas. Saya menyukai sejarah kerajaan. Dari situlah saya menetapkan cita-cita saya untuk jadi Sejarawan.

Sepuluh tahun kemudiannya lagi, saya tiba-tiba sudah jadi mahasiswa tingkat dua. Entah kenapa ibu saya punya ilmu ajaib yang bisa mengubah cita-cita saya dari sejarawan dan menjebak saya masuk kuliah jadi dokter. Ini benar-benar tidak terduga. Padahal saya yang kemungkinan jadi dokternya paling kecil.

Pas masuk pertama kuliah, gaya saya belum berubah. Masih cuek bebek. Bedanya kami di tingkat awal harus sering pakai rok. Saya pun lebih sering meluruskan rambut dan sedikit memanjangkannya. Tapi masuk kuliah tingkat ketiga, saya lebih sering memangkasnya. Panjang sedikit, langsung potong. Hidup saya pun tak terurus karena lebih sering tinggal di kampus, ikut kegiatan organisasi, siaran radio kampus, dan tidur di studio. Ketika pagi, saya langsung bergegas mandi di kamar mandi kampus dan masuk kuliah dengan baju oblong, celana bahan sometimes jeans, dan tas eiger kecil yang berisi buku kecil dan pulpen. Tak jarang, orang menebak-nebak apakah saya cewek teknik atau fisip yang salah masuk kelas.

Setelah lulus, gayaku pun belum juga berubah. Masih awkward sama make up dan cuma mau dimakeupin sama the sister atau mua untuk occasion tertentu. Tapi ada saatnya saya pengen tobat jadi cantik, saya biasa tugas dengan tight-short-skirt or dress. Tapi itu sangat jarang. Hahaha.

Setelah jadi dokter, saya ditegur sama nyokap. Kok jadi dokter penampilannya lusuh banget, nanti saya nggak dipercaya jadi dokter. Apalagi saya kecil-imut-dan-menggemaskan. Makanya sebisa mungkin saya kalau tugas pakai kemeja atau baju jaga, celana bahan, dan sepatu. Kadang kalau pakai kaus, saya harus pakai jas snelli.

Ada satu kejadian lucu yang saya inget dan buat saya ngakak. Jadi saya sedang jaga disalah satu klinik BPJS di Tambun. Di sela-sela waktu istirahat, saya pun makan-makan snack di ruang tunggu pasien. Ketika waktu istirahat selesai, saya pun bergegas masuk kembali ke ruangan periksa. Lalu saya dicegat sama pasien yang hendak masuk. Saya dikira pasien yang mau nerobos langsung tanpa ngantri. "TUNGGU BU, ANTRI DONG! KITA MASUK SESUAI ANTRIAN!" Lalu saya ketawa sambil jongkok, "LHA PAK, WONG SAYA DOKTERNYA. NANTI SIAPA YANG MERIKSA BAPAK?" Si bapak malu dan langsung minta maaf ke saya. "Saya kirain teh neng dokter itu pasien." Hahaha.

Lain lagi cerita kalau wajah elo yang suka bertualang kalah cetar dibanding adik-adik si hijab sosialita. Saya anak tertua dan satu-satunya yang belum pakai kerudung. (Edisi belum tobat #eh) Satu hari ibu saya dan temannya, si Tante X bertemu di RS. Saat itu, saya lagi jalan sama the sister. Si Tante langsung cipika cipiki terus liatin kita bertiga, terus nyalamin adik saya yang pertama. "Oh ini anakmu yang dokter itu. Cantik ayu tenan ya." Gue ketawa kecut miris dibelakang. Adik saya langsung koreksi, "Yang ini tante, kakak saya yang dokter." "Ooh gitu.."
Jleb again!

Yang paling jahat adalah cerita yang ini. Gue baru sadar, betapa bedanya perlakuan seseorang ketika dia tahu profesi kita. Dan kejadian itu terjadi waktu gue ke Krakatau akhir 2016 lalu. Saya ke Krakatau dan bertemu banyak teman-teman baru. Di satu tempat itu, saya juga bertemu anak cimi2 geng satu tempat kerja. Dan salah satunya, si B, yang tidur disebelah saya. Saya berusaha sksd-an untuk make a conversation, dan tahu apa? Di cuekin. Dicuekin PARAH. Dan akhirnya si B main sama gengnya dan gue main sama geng yang lain. Pas hari terakhir, waktu kita makan siang depan pantai. Tiba-tiba dia ngeluh lehernya sakit dan merah karena digigit apa. Terus temen gue nyeletuk, "Tanya aja Ghea, dia dokter tuh." And then, dia berubah total. Jadi ramah dan nanya-nanya penyakit. Wah, ini tipe orang yang gue paling hindarin. That's why kenapa gue paling nggak suka ngaku jadi dokter. Hahaha.

Overall, I know. I know that i'm not a kind of doctor that you see in TV or you imagine. 
But I still can be a doctor that can treat you warmly and give the the best medication to make you healthy. 
Just trust me :)
 

Copyright 2010 a piece of mind.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.