10 Okt 2012

Satu hari, ketika saya pulang dan mendapati kita (kami, tiga bersaudara perempuan 3G – Ghea, Giska, Gina) di rumah, tiba-tiba saya disadarakan pertanyaan yang diajukan Giska, “Ghe, pernah gak lo ngalamin titik jatuh?” Saya terdiam sebentar, mengingat apakah saya pernah melewatinya. 

Sebenarnya ada beberapa titik jatuh yang saya bisa ceritakan, tapi susah kalau saya ungkapkan. Oleh karena itu, saya akan cerita sedikit di blog ini. 

Titik jatuh pertama saya : 
Ketika artis kesayangan saya, Siti Nurhaliza, nikah sama datuk-datuk nyaris umur 50an. Saya gak tau dunia udah kebalik apa, sampai gilanya dulu saya pernah teriak-teriak di kamar, “AKU GAK MAU BELAJAR, KALAU SITI GAK DATENG KE KAMAR AKU!” GW BARU SADAR KALO GW BENER_BENER GILA-LABIL SAAT ITU. Apa jangan-jangan gw gak sadar juga ya bilang, "MAH, AKU GAK MAU PUPPY KALO GAK ADA SITI!" Idih, sumpah, gw ngejerit dan malu kalau diungkit-ungkit masa-masa itu! 

Titik jatuh kedua saya : 
Ketika saya tertangkap basah suka sama orang waktu SMA. Kalau diceritain makin absurd kayaknya. 

Titik jatuh ketiga saya : 
Ketika dimarahin beliau. Sampai harus ngurung di kamar. Nahan nangis ngedekep bantal ke mulut supaya saya kelihatan tidak sakit, tidak cengeng. 

Titik jatuh keempat saya : 
Ketika saya menahan perasaan. Saya lebih baik mengurung diri, memimpikan apa yang saya inginkan, dan memokuskan diri pada hal-hal lain. 

Hmm, sebenarnya saya tidak punya titik jatuh yang sebenar-benarnya. Tidak pernah. Yang saya ceritakan diatas, itu ‘titik jatuh’ saya sewaktu labil. Setiap orang, dalam hidupnya akan mempunyai titik jatuh. Tidak ada siapapun ataupun saya yang bisa menghindarinya. Cuma satu pengharapan saya ketika berada di titik itu, saya cuma butuh satu orang yang dapat menopang dan mengarahkan saya dengan tulus menuju point-of-return. 
Cuma itu.
 

Copyright 2010 a piece of mind.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.