14 Mei 2013

Ketika saya menulis postingan ini, saya menulis tepat diatas ranjang pasien yang dari tadi pagi saya follow up dan akhirnya meninggal 15 menit yang lalu. 

Kalian tahu? Profesi yang paling sering merasakan suasana kehilangan seseorang dan berada di ujung sakratul maut adalah dokter. Saya memang belum dokter, tapi saya koas yang mau tidak mau dilatih untuk berlaku secara subjektif empati dan objektif secara medis dalam menangani orang sakit. 

Sejak kemarin KU pasien sudah gawat. Masuk dengan assesment : Post stroke, hipoglikemi, dan DM tipe 2 non-obes. Keesokan harinya saya jaga pagi dan menemani dokter untuk melihat pasien ini. Saya datang dia sudah syok hipoglikemi. Nadinya tidak teraba, takipneu, takikardi, dan akral dingin. Akhirnya pasien di pindah ke Ruang Perawatan Khusus (RPK). Saya pasangkan keteternya dan follow up pasien sampai jam 3 sebelum akhirnya saya off-shift. Sepuluh menit setelah kembali ke pergantian, saya datang kembali ke RPK tempat dimana pasien ini dirawat. Saya datang dengan muka butek bantal karena habis one-hour-sleep dan tiba-tiba dokter jaga bilang, “Meninggalmi..”   Saya kaget. 

Keluarga pasien mulai berkerumun dan perlahan anak-anaknya mulai datang dan menangis. Ini bukan kematian pertama yang saya lihat, tapi cukup membuat saya agak takut saja. Tiba-tiba saja terbayang wajah datuk dan nenek saya jika mereka meninggal dan bagaimana posisi saya sebagai dokter yang merupakan keluarga pasien. Terbayang bagaimana caranya saya anak pertama yang akan memandikan jenazah ibu saya sendiri. Terbayang juga suasana yang pernah tante kepada saya bahwa saya yang harus urus transportasi jenazahnya dari Makassar ke Jakarta untuk dikubur. Ketakutan saya tentang hal-hal itu terlintas di pikiran.

Saya akhirnya mengerti keadaan sebagai seorang dokter. Kadang mereka menganggap terlalu biasa melihat kematian. Bayi, anak, remaja, dewasa, dan tua itu menjadi pasti. Kematian menjadi kondisi mutlak bagi setiap manusia tanpa mengenal tempat dan waktu. Di sisi lain, kita bisa menjadi terlalu empati alias simpati sampai-sampai kita bisa merasakan apa yang pasien dan keluarga pasien itu rasakan, seperti membayangkan jika hal itu terjadi pada kita. 

Kedua sikap ini, meski saling kontradiktif, diperlukan seorang dokter untuk mempertahankan subjektivitasnya sebagai manusia maupun mempertahankan obyektivitas dalam menjalankan profesinya. Karena sikap itulah yang membuat kita masih manusiawi, melihat pasien secara holistik, dan tetap bisa mengonsistensikan profesionalitas kita.

Semoga saya bisa menjadi dokter yang mempunyai sikap-sikap itu. Amin!
 

Copyright 2010 a piece of mind.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.