26 Nov 2014

Apa yang dibutuhkan kalau Anda merantau?

Saya tergelitik membuat tulisan ini ketika teman saya yang baru mendapat tugas internship ke Bangka tiba-tiba bertanya begini
“Ghe..mau tanya dong.. hidup jauh dari rumah yang diperluin buat mental apaan ya?”
Lalu saya balas linenya “Sinyal, sikap positive thinking sama uang duit yang banyak untuk pelarian lo wit.. hahaha”

   Pertanyaan salah seorang teman itu membuat saya menelaah kehidupan merantau saya. Kelas 1 SMA saya sempet ngekos setahun dibelakang sekolah. Ketika saya kuliah di Unpad, saya enam bulan ngekos dikosan cowok. Dan setahun berikutnya, nasib membawa saya untuk kuliah di Unhas sampai sekarang. Tidak terasa, lima tahun lebih saya berada di Makassar. Yak, Sulawesi Selatan, not DKI Jekardah!
   
   Tinggal sendiri, nyuci sendiri, jalan sendiri, dan (sampai sekarang untungnya masih) tidur sendiri membuat saya makin mandiri. Saya kurang menyukai keributan dikosan, karena itulah kalau saya pulang kondisi empat adik plus nenek terasa lebih gaduh daripada biasanya. Saya tidak bisa memasak hanya bisa tumis-tumis dan goreng-goreng, jadi selebihnya saya selalu makan diluar. Saya bertanggung jawab dengan kebersihan kosan sendiri karena tidak ada mbak-mbak yang tiap hari bersihin kamar. Kalau saya harus bangun pagi besok, saya harus set alarm dan mind-alarm sendiri. Intinya jikalau kamu tinggal sendiri, kamu harus bertanggungjawab dengan jalannya hidupmu. Karena cuma sendiri, segala konsekuensi jalannya hidupmu ya ada ditanganmu.
   
   Merantau juga ada sedihnya. Ketika lagi ngerasa kesepian atau kangen keluarga. Ketika sakit juga. Saat-saat itulah kamu sadar kamu itu sendiri, merantau di negeri orang, dan kamu butuh orang untuk ngerawat kamu, untuk setidaknya diajak bicara, diajak makan atau diajak nonton. Untungnya sampai sekarang, kalau saya dapat momen-momen sedihnya merantau, saya selalu dikelilingi oleh orang-orang yang hebat.
   
   Ibu kosan yang perhatian. Pas saya tifoid, saya dirawat dengan makanan hangat dan minuman jahe hangat. Tetangga yang begitu mengerti saya. Disaat saya dyspepsia aka maag kronik, saking tidak tahannya, keluarlah rapalan kata-kata yang tidak pantas ditengah malam. Lalu kakak tetangga sebelah bangun menanyakan keadaan saya dan memasakkan bubur hangat (meski akhirnya dimuntahkan kembali) dan teh manis hangat. Tak lupa, teman-teman yang mengisi kesepian saya dengan mewarnai kehidupan kampus dan selalu hang-out bareng.

   Melihat perjalanan merantau diatas, akhirnya saya mengambil kesimpulan, 
Merantau itu jauh membuat kita dewasa, menjadi orang yang lebih baik. Membuat kita dapat menghadapi segala permasalahan hidup dengan mandiri, tanpa orang tua. Melihat dunia luas dan bergaul dengan orang-orang sekitar. Ketakutan karena keluar dari comfort zone kita itu wajar karena pada dasarnya manusia diawal-awal adaptasinya akan selalu membandingkan situasi, merasa tidak nyaman , atau bahkan cenderung men-deny kenyataan kenapa-kok-bisa-saya-disini. Selanjutnya mereka akan masuk kedalam fase penerimaan dimana proses adaptasi harus dijalani demi menyesuaikan diri dengan lingkungan. Sama dengan Teori Darwin dan Lamarck yang menjelaskan teori adaptasi seleksi alam dan fase kehilangan ogan tubuh hewan jika tidak pernah digunakan, manusia pun juga begitu. Kita pun beradaptasi.  

   Tips saya untuk orang-orang yang mau merantau; hadapi proses ini dengan positive thinking karena pikiranmu akan me-mind set semua perasaan dan tindakanmu kedepan. Riset mengenai daerah rantauanmu supaya kamu bisa meminimalisir faktor sedih-sedihnya merantau ke tempat yang dituju. Bergaul dengan orang lingkungan sekitar seperti layaknya keluarga sendiri supaya kurang-kurang homesicknya. Dengan itu, saya yakin merantaumu jauh lebih mudah.

Jadi, sudah siapkah Anda merantau?  
 

Copyright 2010 a piece of mind.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.