2 Des 2015

     Kanker adalah suatu penyakit neoplastik yang alamiah bersifat fatal, tidak seperti tumor jinak, kanker menunjukkan sifat invasi serta metastasis ke jaringan sekitarnya. Kanker merupakan penyakit yang cukup tinggi insidensinya di Indonesia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskerdas) tahun 2013, prevalensi tumor/kanker di Indonesia adalah 14 per 1000 penduduk, atau sekitar 330.000 orang. Kanker yang paling sering terjadi pada perempuan adalah kanker payudara dan kanker serviks. Sedangkan pada pria, kanker yang sering diderita adalah kanker paru. Angka insidensi yang cukup tinggi ini tentunya membutuhkan penanganan kesehatan yang komprehensif sehingga dapat menekan jumlah penderita kanker kedepannya. 
     Jika membicarakan tentang penanganan suatu masalah penyakit, saya cenderung kembali merunut apa yang telah diungkapkan oleh Leave dan Clark (1953) dimana dalam mengatasi masalah kesehatan dibutuhkan lima langkah upaya pencegahan. Lima langkah ini (promosi kesehatan, perlindungan khusus, diagnosa dini dan pengobatan segera, rehabilitasi, dan pembatasan kecacatan) perlu dilakukan maksimal dalam setiap penanganan penyakit seperti kasus kanker di Indonesia. 
     Di Indonesia sendiri, 80% kasus kanker payudara ditemukan pada stadium yang sudah lanjut dimana akhirnya pengobatan segera sudah sulit dilakukan. Begitupun juga dengan kasus kanker serviks dimana pasien benar-benar datang ketika sudah ada keluhan padahal lesi prekanker pada kanker serviks memiliki satu perjalanan penyakit yang cukup lama untuk sampai menjadi invasif dan menimbulkan keluhan. Insidensi kasus-kasus kanker lain pun juga demikian. 
     Karena itulah, promosi kesehatan merupakan hal yang pokok dapat membuat pasien lebih sadar akan kesehatannya. Puskesmas yang merupakan Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama harus memainkan perannya lebih besar daripada pelayanan kesehatan tingkat diatasnya karena dia adalah tingkat pelayanan yang lebih fokus pada pelayanan promotif dan preventif. Apabila upaya promotif dapat dijalankan maksimal, maka pasien tidak akan sampai pada tingkatan terkena penyakit. Hal ini sebenarnya sudah ada dalam 6 program pokok puskesmas, akan tetapi teknisnya selalu tidak maksimal. Metode-metode yang dilakukan untuk promosi kesehatan cenderung masih menggunakan metode pendekatan konvensional berupa ceramah dan diskusi. Menurut Edgar-Dale, pembelajaran lewat metode-metode tersebut hanya dapat membuat orang mengingat apa yang dipelajarinya hingga 50%. Sedangkan untuk metode pembelajaran terbaik harusnya langsung bisa dalam bentuk aplikasi yaitu benar-benar melakukan hal tersebut sehingga masyarakat dapat mengingatnya lebih baik. Salah satu contoh aplikasi langsung yang bisa dilakukan adalah seperti melakukan pemeriksaan SADARI untuk mendeteksi kanker payudara. Kita bisa melakukan demonstrasi langsung dua arah untuk mengajari masyarakat melakukan deteksi tersebut. Contoh lain lagi, untuk mengenalkan makanan-makanan yang cenderung menyebabkan kanker, kita dapat langsung memberikan contoh makanan langsung agar masyarakat dapat mengerti dengan jelas mana yang boleh dimakan dan mana yang tidak. Semakin mendekati real metode yang kita terapkan, diharapkan akan semakin mengena pesan yang disampaikan. Tenaga kesehatan dituntut untuk lebih kreatif terhadap metode promosi kesehatan agar pesan dapat diterima dengan baik. Materi promosi kesehatan terkait penyakit pun harus disertai dengan materi alur rujukan BPJS terkait agar masyarakat tidak bingung ketika harus menjalankan proses pengobatan lebih lanjut. 
     Selain itu, untuk memaksimalkan promosi kesehatan, fungsi Five-Star Doctor menurut WHO juga harus diterapkan. Dokter jangan cenderung fokus menjadi care-provider dan decision-maker di pusat kesehatan, akan tetapi perlu juga menjadi communicator, community leader, dan manager di lingkungan masyarakat. Seperti dengan ikut sertanya tenaga kesehatan terhadap program pemerintah setempat ataupun turut mendukung acara-acara sosial organisasi lain. Hal ini dapat menciptakan hubungan yang harmonis antara individu, organisasi, dan bidang-bidang nonmedis lain sehingga dokter lebih bisa mendapatkan tempat di hati masyarakat. 
     Langkah berikutnya adalah langkah proteksi khusus dan deteksi dini penyakit. Setelah dilakukan promosi kesehatan, diharapkan masyarakat dapat lebih sadar jika dirinya berisiko sakit/telah sakit dan dapat memeriksakan langsung ke puskesmas. Salah satu contohnya adalah dengan melakukan pemeriksaan IVA ataupun pap smear pada pasien dengan faktor risiko tinggi kanker seviks. Ketika pasien sudah dapat diduga terkena penyakit kanker, dokter perlu menekankan pentingnya motivasi dalam menjalani pengobatan dan dukungan keluarga yang penuh karena penyebab paling sering pasien kanker yang menjalani pengobatan drop out adalah karena dua masalah tersebut. Proses perjalanan pengobatan kanker sangatlah lama sehingga dibutuhkan pengecekan kepatuhan pengobatan. Pengecekan kepatuhan pengobatan tersebut dapat dibuat seperti sistem DPO (Dewan Pengawas Obat) pada kasus penyakit tuberkulosis. Perbedaannya adalah dibutuhkan katrol absen pengobatan dari rumah sakit rujukan terhadap pengobatan yang telah dilakukan sehingga puskesmas terdekat dapat memonitor lebih lanjut jadwal pengobatan selanjutnya agar tidak drop out. Jujur hal ini sangat membuat kerja puskesmas jauh lebih kompleks. Karena itulah saya lebih cenderung menempatkan fungsi puskesmas menjadi pusat promotif dan preventif kesehatan, tidak lagi menjadi pusat pengobatan sehingga ranah kerja puskesmas jauh lebih terfokus. Biarlah fungsi pusat pengobatan pada puskesmas lebih dibebankan pada rumah sakit tipe D. 
     Langkah-langkah Leave dan Clark yang selanjutnya bermain pada ranah pusat pelayanan kesehatan lanjutan (rumah sakit). Peraturan BPJS kadang dianggap menjadi batu sandungan pada pasien kanker yang ingin menjalankan pemeriksaan atau terapi lanjut. Kebanyakan masyarakat terganjal dengan awamnya pengetahuan kepengurusan BPJS ataupun masalah fasilitas pengobatan yang belum memadai. Masalah pertama ini bisa dikurangi dengan promosi kesehatan program BPJS dipuskesmas. Kita harus menekankan prinsip alur rujukan bertingkat pada pasien sehingga pelayanan dirumah sakit tipe A tidak membludak dan hanya pasien-pasien dengan kasus yang benar-benar membutuhkan tindakan advance yang datang kesana. Ini juga harus diiringi dengan peningkatan fungsi rumah sakit tipe B, C, dan D agar sistem rujukan berjalan maksimal. 
     Pasien kanker yang biasanya datang berobat ke rumah sakit lebih sering datang dengan kasus stadium yang sudah lanjut sehingga pengobatan lebih mengarah pada proses radioterapi dan kemoterapi. Karena itulah fasilitas pelayanan radioterapi dan kemoterapi harus ditingkatkan dan alangkah lebih bagusnya pelayanan terapi ini diadakan minimal di tiap-tiap rumah sakit propinsi sehingga akses pengobatan pasien kanker jauh lebih terjangkau. 
     Demikian ide saya mengenai penanganan penyakit kanker di Indonesia. Dibutuhkan kerja sama, komitmen, dan tentunya dana yang besar untuk menjalankan program-program yang saya canangkan diatas. Akan tetapi, saya sangat optimis suatu saat angka insidensi penyakit kanker dapat menurun di Indonesia. Ayo, kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menyembuhkan Indonesia?

NB : Tulisan ini pernah diikutsertakan pada Lomba Menulis Essay Tentang Kanker 2015 Kalbe
 

Copyright 2010 a piece of mind.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.